Blusukan Sampai Desa Terpencil, BPJS Ketenagakerjaan Menghalau Cemas Kerja Petani
PESERTA : M Ferdy Kurniawan, anak dari petani Desa Rimba Jaya, Sakuria Dewa menunjukkan kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Sejak 2 tahun terakhir, Sakuria ikut mendaftarkan istri dan anaknya jadi peserta jaminan ketenagakerjaan. -Foto : Rendi/Sumeks-
SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID – Menoreh batang karet menjadi pekerjaan Sakuria Dewa (49) sehari-hari. Seusai fajar warga Desa Rimba Jaya, Kecamatan Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) itu biasa berangkat ke kebun karetnya seluas satu hektar lebih. Ratusan pohon karet bergilir ia sadap, ia kumpulkan lateks tetes demi tetes, dan menuangkannya ke dalam bak-bak pencetakan getah yang berada di kebun.
Sakuria mengendapkan karet-karet itu selama satu Minggu sampai beratnya mencapai 70 kilogram. Baru ia mengangkut hasil perkebunan ke pengepul atau pasar lelang bokar (bahan olah karet rakyat). “Setiap hari saya blusukan ke kebun-kebun menderes karet dengan pisau sadap. Kalau tidak menyadap kebun sendiri, saya ngambil upahan ke kebun orang lain,” ujarnya, Jumat (24/11).
Saat ini, lanjut Sakuria, mayoritas atau 90 persen penduduk Desa Rimba Jaya berprofesi sebagai petani atau buruh tani/angkut karet, sawit, dan sayur mayur. Wajar jika pagi-pagi menderes-nya kompak. “Tak hanya ke kebun karet, banyak pula ke kebun-kebun sawit. Memang desa kita ini didominasi area perkebunan rakyat,” terang Ketua Kelompok Tani Margo Rukun ini.
Sejak 2 tahun terakhir, Sakuria bersama petani-petani Desa Rimba Jaya pun sadar pentingnya perlindungan atau jaminan sosial ketenagakerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Karena bekerja sebagai petani karet dan sawit itu berisiko sekali kecelakaan.
“Contoh waktu menderes itu bisa saja terluka kena pisau sadap, kena racun saat menyemprot hama atau rumput, bahkan pernah ada kasus petani karet punggungnya tertimpa pohon usai menebang batang karet,” ungkapnya. Ironisnya petani itu tak punya perlindungan ketenagakerjaan sehingga tak ada yang menjamin biaya pengobatan atau perawatan, dan ia pun lumpuh hingga sekarang.
Petani sawit jauh lebih rawan. Saat memanen dengan alat dodos, semacam tombak, berisiko tertimpa buah sawit. Berat tandan buah segar (TBS) itu mencapai 16-32 kg dan setiap Minggu petani dapat memanen puluhan ton TBS. Pernah pula kejadian dodosnya lepas dari kayu menyabet tangan petani hingga cedera parah. “Alat dodos digunakan untuk memotong kelapa sawit pada ketinggian maksimal 3 meter. Jika tingginya sudah 4-5 meter itu petani menggunakan egrek atau semacam celurit,” imbuhnya.
Jika tak mahir menggunakannya dapat mengancam nyawa, karena dulu juga ada egrek lepas dari sambungan besi dan mengenai leher seorang petani. Orangnya meninggal. “Egrek sawit itu benar-benar tajam, harganya saja Rp1,5 juta,” terangnya. Risiko itu baru di kebun saja, belum lagi saat mengangkut karet atau sawit ke lokasi penjualan seperti Sakuria yang setiap Minggu membawa 70 kg getah karet menggunakan motor.
“Tak piawai menggotong puluhan kilogram lateks risikonya celaka, tertimpa motor atau getah. Apalagi di kebun-kebun itu kami melewati semak belukar, jalan tanah, berlumpur, atau jembatan yang patah. Bertemu binatang buas seperti babi hutan, ular, biawak pun biasa,” sebutnya. Namun masyarakat desa tak mungkin meninggalkan pekerjaan sebagai petani, karena dari komoditas sawit dan karet inilah mereka punya penghasilan menghidupi keluarga.
“Sekarang harga getah karet di pasar bokar sekitar Rp11 ribu per kg, jadi saya sekali jual dapatlah uang Rp770 ribu, kadang lebih tergantung harga berlaku saat itu,” katanya. Total sebulan pendapatan Sakuria, begitu pula penghasilan petani karet atau sawit lainnya rata-rata Rp3-4 juta per bulan. Untuk buruh panen dapat mencapai Rp3 juta-an, mereka mengambil upah harian atau borongan dengan luas area kebun 3-4 hektar untuk sawit dan 2-3 hektar karet. Sawit panennya seminggu sekali, sementara karet harian dan mingguan.
Di tengah besarnya risiko yang ada, ratusan petani merasa jaminan sosial tenaga kerja perlu sekali layaknya masyarakat mendapat jaminan kesehatan nasional (JKN). Ketika sakit mereka berobat gratis, ketika kecelakaan mereka ditanggung penuh perawatannya. Jika meninggal dunia karena kecelakaan dan sebagainya, ahli waris mendapat santunan puluhan juta, bahkan anak-anaknya diberikan beasiswa pendidikan sampai lulus.
Maka BPJS Ketenagakerjaan membuka aksebilitas jaminan sosial dan masuk memberi perlindungan, supaya pekerja rentan seperti petani karet dan sawit tetap dapat kerja keras bebas cemas. Ketika ada sosialisasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan dan Kantor Desa tahun 2021 silam, Sakuria dan petani-petani Desa Rimba Jaya langsung mantap mendaftar menjadi peserta mandiri untuk 2 jaminan, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dengan iuran cuma Rp16.800 per bulan.
“Namanya petani bekerja untuk keluarga dengan menanggung segala risikonya. Kita tidak tahu nasib kita ke depan, tapi kita harus berikhtiar. Dengan adanya jaminan BPJS Ketenagakerjaan, kami tenang mendapat perlindungan,” ujar Sakuria. Bahkan ia turut mendaftarkan istri dan anak pertamanya yang baru lulus SMA menjadi peserta.
Setiap bulan ia membayar iuran Rp50.400 sekaligus untuk tiga orang. “Bayarnya lewat kantor desa. Setelah iuran kelompok petani terkumpul secara kolektif, Pemerintah Desa menyetornya ke BPJS Ketenagakerjaan,” tegasnya. Kini kepesertaannya sudah 2 tahun berjalan, ia tak pernah bosan dan telat membayar iuran karena Sakuria meyakini program sosial ketenagakerjaan ini wujud kegotongroyongan saling bantu.
Sejauh ini sudah ada keluarga petani Desa Rimba Jaya mendapat manfaat program jaminan tenaga kerja dari BPJS Ketenagakerjaan karena suaminya meninggal dunia. “Sekitar 3 orang, masing-masing ahli waris istri menerima dana santunan kematian Rp42 juta. Ditambah bantuan beasiswa untuk anak ahli waris setiap tahun,” tuturnya. Jadi betul-betul membantu di tengah musibah menimpa keluarga petani.
Lalu ada satu petani dari Kelompok Tani Margo Rukun, namanya Salmad, mengalami kecelakaan motor ketika pergi ke toko mencari perlengkapan tani. “Cedera berat, kakinya patah. Salmad langsung dibawa ke RS, semua biaya pengobatan dan perawatan ditanggung BPJS Ketenagakerjaan. Sekarang Salmad sudah bisa jalan dan bekerja lagi,” tandas Sakuria.
Cerita sama diungkapkan Kusmantoro (43), petani karet Desa Rimba Jaya yang juga peserta BPJS Ketenagakerjaan. Ia punya kakak ipar bernama Sumarsono (alm) yang sehari-hari kerjanya sama menoreh pohon karet ke kebun sendiri seluas 3 hektar di desa. “Awal-awal pada Juli 2021 petani kan ramai-ramai mendaftar BPJS Ketenagakerjaan, termasuk saya dan kakak saya Sumarsono,” ujar Kus.
Empat bulan berselang, kakak iparnya terkena Covid-19 dan meninggal dunia. “Kita melapor, orang BPJS Ketenagakerjaan langsung datang memberikan santunan Jaminan Kematian senilai Rp42 juta kepada ayuk saya, Supatmi (47). Padahal kakak ipar saya itu baru 3 bulan menjadi peserta dan membayar iuran Rp16.800 per bulan,” tuturnya.
Uang santunan itu tentu saja sedikit banyak membantu Supatmi, sebab selama ini Sumarsono satu-satunya tulang punggung keluarga. “Anak ayuk saya ada dua, satu masih sekolah dan satu sudah bekerja. Sepeninggalan suaminya, uang santunan itu ia gunakan untuk biaya hidup dan anaknya melanjutkan kuliah,” beber Kus. Supatmi pun tetap tegar dan kini melanjutkan pekerjaan suaminya menyadap karet dan menanam sayur mayur.
Atas manfaat yang diterima Supatmi, ratusan petani turut teredukasi bahwa manfaat pelindungan ketenagakerjaan itu sangat dibutuhkan oleh mereka. Bahkan kepesertaan pada BPJS Ketenagakerjaan menjadi jaring pengaman ekonomi bagi masyarakat agar tetap mampu bertahan ketika mendapat musibah kecelakaan atau kematian yang menghilangkan penghasilan. “Hingga kini saya bersama ratusan petani tetap rutin membayar iuran secara mandiri ke kantor desa. Iurannya masih sangat terjangkau, tapi manfaatnya luar biasa,” pungkas Kusmantoro.
Kepala Desa Rimba Jaya, Warsino mengatakan sejak tahun 2021 warganya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan segmen pekerja bukan penerima upah (BPU). “Total ada sekitar 160 petani karet dan sawit terdaftar dan rutin membayar iuran ke kantor desa. Dua tahun ini kita memang sudah membantu kelompok tani menyetorkan iurannya secara kolektif ke BPJS Ketenagakerjaan supaya aksebilitasnya mudah,” bebernya.
Sebenarnya, lanjut Warsino, semula iuran petani sempat dibiayai dana CSR perusahaan tapi hanya berlangsung 2 bulan. “Setelah itu petani tercatat sebagai peserta mandiri yang membayar sendiri. Mereka komitmen melanjutkan kepesertaannya hingga kini karena manfaatnya yang besar namun iurannya murah,” tutur Warsino. Jadi misalnya hari ini jadi peserta, besok meninggal dunia langsung disantuni Rp42 juta oleh BPJS Ketenagakerjaan. “Manfaatnya riil dan ini membantu kelompok petani kebun kita. Kemarin ada 3 ahli waris menerima santunan kematian,” tegasnya.
Meski dari jumlah penduduk 3.066 jiwa, kebanyakan telah terdaftar di BPJS Kesehatan, tapi kan manfaatnya berbeda. “BPJS Kesehatan menanggung biaya peserta yang sakit, sementara kecelakaan kerja bahkan beasiswa anak sekolah ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan,” imbuhnya. Selama ini, Warsino mengaku tim BPJS Ketenagakerjaan terjun langsung blusukan merangkul para petani. Ketika ada penyuluhan atau sosialisasi, pihaknya menginformasikan kepada warga untuk datang.
“Kita tak pernah memaksakan petani wajib ikut, mereka mendaftar dengan sukarela. Namun saya kira petani juga paham bahwa pertanggungan ketenagakerjaan itu sangat penting,” sebutnya. Ini juga untuk kesejahteraan masyarakat terutama ketika ada musibah. Apalagi kerja petani dengan segala kerawanannya seperti tertimpa buah sawit, terluka kena pisau sadap, racun semprot, kecelakaan dan tabrakan di perjalanan.
Namun ia berharap, untuk meringankan beban petani, perusahaan-perusahaan bisa kembali kucurkan dana CSR-nya menanggung iuran BPJS Ketenagakerjaan. “Semua jaminan sosial, baik itu BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan kita perlukan khususnya bagi petani yang penghasilannya rata-rata. Perlindungan ini juga menjadi jaring pengaman ekonomi, layaknya Pemerintah menyalurkan bantuan BLT (Bantuan Langsung Tunai), PKH (Program Keluarga Harapan) kepada masyarakat miskin,” cetusnya.
Sehingga alangkah baiknya jika masyarakat yang bekerja, termasuk IRT (ibu rumah tangga) di Desa Rimba Jaya tercover BPJS Ketenagakerjaan semua. “Karenanya kami minta peran serta perusahaan dan stakeholder terkait memberi perlindungan. Namanya manusia, kita tidak tahu nasib ke depan seperti apa,” tegas Warsino.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Palembang, Moch Faisal mengatakan hingga Oktober 2023, kepesertaan cabang Palembang sudah mencapai 507.499 peserta atau 48,43 persen dari target coverage 1.047.820 peserta di wilayah kerja meliputi Palembang, Ogan Ilir, OKI, Muba, dan Banyuasin.
“Kita berharap bisa memberikan jaminan ketenagakerjaan kepada seluruh pekerja yang ada, khususnya segmen pekerja informal atau BPU. Agar mereka terlindungi, dapat bekerja dengan aman dan nyaman tanpa memikirkan resiko yang timbul, serta pekerja menjadi lebih produktif,” ungkapnya, Sabtu (25/11). Selain itu tidak menimbulkan masyarakat miskin baru ketika kepala keluarga mengalami kecelakaan kerja atau meninggal dunia lantaran telah terlindungi Program BPJS Ketenagakerjaan.
Saat ini ada beberapa klasifikasi peserta BP Jamsostek, yaitu penerima upah (PU) 280.743 peserta, BPU 52.485 peserta, sisanya pekerja jasa konstruksi. “Perluasan kepesertaan segmen pekerja BPU menjadi salah satu prioritas kita misalnya menggaet petani karet, sawit, atau padi, di antaranya yang berada di Desa Rimba Jaya Kabupaten Banyuasin dan Desa Payakabung Kabupaten OKI. Dalam mencari nafkah, tentu mereka harus menghadapi segala risikonya dan kami hadir menghalau rasa cemas petani,” bebernya.
Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga menyasar para nelayan, pedagang, ojek online (ojol), dan lain sebagainya. Demi merangkul semua pekerja informal itu, pihaknya aktif sosialisasi program ke pasar-pasar tradisional, ke kebun-kebun, komunitas ojol. “Kami mengoptimalkan sistem keagenan Perisai dalam melakukan perluasan kepesertaan sampai desa-desa terpencil,” lanjutnya.
SOSIALISASI : Moch Faisal (kanan) mendengarkan keluh kesah petani Desa Payakabung, Kabupaten OKI terkait risiko dalam bekerja saat sosialisasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kamis (6/07/2023). Foto : IST--
Moch Faisal menyebut pihaknya memberikan banyak manfaat kepada para peserta, khususnya pekerja informal lewat program JKK dan JKM. Dengan iuran minimal Rp16.800 per bulan dan Rp36.800 per bulan untuk 3 program, peserta akan mendapat seabrek manfaat. Sebagai contoh manfaat JKM meliputi santunan kematian Rp20 juta, biaya pemakaman Rp10 juta, santunan berkala Rp500 ribu (selama 24 bulan) dibayar sekaligus Rp12 juta. Sehingga total ahli waris akan menerima santunan sebesar Rp42 juta.
“Jika tenaga kerja dengan minimal kepesertaan BP Jamsostek selama 3 tahun, lalu meninggal dunia akan mendapat beasiswa maksimal untuk 2 orang anak sesuai tingkat pendidikannya,” ujarnya. Perhitungannya siswa TK-SD sederajat Rp1,5 juta per tahun (maksimal 8 tahun), SMP sederajat Rp2 juta per tahun (maksimal 3 tahun), SMA sederaja Rp3 juta per tahun (maksimal 3 tahun), dan pendidikan tinggi Rp12 juta per tahun (maksimal 5 tahun).
Demikian pula jika peserta mengalami kecelakaan kerja, maka BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan manfaat JKK meliputi penggantian biaya transport darat Rp5 juta, laut Rp2 juta, udara Rp10 juta. Ada santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB) 1 tahun pertama 100 persen dari upah sebulan, seterusnya 50 persen dari upah sebulan. “Kita bahkan memberikan biaya pengobatan atau perawatan tidak terbatas (unlimited) sesuai kebutuhan medis,” tegasnya.
Sementara biaya gigi tiruan akibat kecelakaan kerja Rp5 juta, biaya kacamata Rp1 juta, biaya alat bantu dengar Rp2,5 juta, dan biaya homecare Rp20 juta. “Total santunan cacat akibat kecelakaan kerja mencapai Rp68 juta dan meninggal dunia senilai Rp70 juta, ditambah manfaat beasiswa untuk 2 orang anak,” tandas Moch Faisal. (fad)