Regulasi Energi Baru Terbarukan di Indonesia

Dr Ian Kurniawan, ST MEng IPM

Dosen Teknik Kimia, UPGRI Palembang

 

Dr Adri Huda, SSi

Dosen Teknik Lingkungan, USU

 

Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan transisi energi dari energi berbasis fossil menjadi energi baru dan terbarukan sejak pemerintah menerbitkan UU no 30 tahun 2007 tentang Energi. Kebijakan untuk melakukan transisi energi juga didukung oleh beberapa regulasi seperti peraturan presiden no 79 tahun 2014 untuk menggunakan energi baru dan terbarukan sebesar 23# pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Regulasi ini kemudian menjadi dasar dari penyusunan the Natonal Planning for National Energy of Republic of Indonesia (RUEN) yang didukung dengan Peraturan President No. 22 of 2017.

Berdasarkan RUEN, Indonesia akan memfokuskan pada pengembangan energi berbasis tenaga surya untuk mencapai target produksi energi listrik di Indonesia. 207.8 GW atau hampir 50% dari target pengembangan dari RUEN difokuskan pada pengembangan energi berbasis tenaga surya. Dasar utama dari pengembangan energi berbasis tenaga surya adalah ketersediaan sumber energi berupa sinar matahari yang tinggi di Indonesia. Selain itu, PLTS memiliki keuntungan seperti mudah untuk dikembangkan di hampir seluruh wilayah Indonesia, dapat digunakan di setiap lapisan masyarakat, dapat diproduksi dalam kondisi cuaca Indonesia, dan waktu pakai yang relative panjang (25 tahun).

Pemerintah Indonesia telah memberikan target untuk peningkatan kapasitas PLTS hingga 3.6 GW by 2025 dikhawatirkan tidak tercapai karena the low utilization rate achieved until 2021. Solar power plant implementation in Indonesia only reached 0.08% of its potential (Suparwoko & Qamar, 2022). Pertimbangan nilai investasi yang besar dan biaya produksi energi listrik yang tinggi menjadi alas an utama dari rendahnya pengembangan PLTS di Indonesia.

Salah satu langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan membuka diri kepada pihak swasta dan masyarakat untuk bisa mengembangkan PLTS swasta untuk memenuhi target 3.6 GW by 2025. Selain itu, beberapa strategi seperti pemberian keringanan pajak dari proses instalasi PLTS dapat menjadi solusi untuk menstimulasi industri untuk mulai beralih ke PLTS. Pemberian kebebasan untuk menjual green electrical energy juga dapat merangsang pihak swasta dan pengembangan green energy untuk memberikan investasi di sector energi berbasis solar power plant sehingga pemerintah tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk berinvestasi kepada pembangunan PLTS.

Namun, Pengembangan PLTS di Indonesia dikhawatirkan akan terkendala oleh kebijakan yang juga diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Regulasi mengenai ekspor energi listrik telah diimplementasikan pada Peraturan Menteri ESDM no. 49 tahun 2018 yang menjelaskan bahwa masyarakat yang menggunakan PLTS dapat memberikan kelebihan energi yang diproduksi kepada PLN. Namun, PLN hanya dapat membayar 65% dari total energi yang diberikan sebagai ongkos produksi energi listrik (EDSM, 2018). Kebijakan ini menyuruh masyarakat untuk memproduksi energi listrik dan menggunakannya secara maksimal sehingga meminimalisir penjualan ke PLN. Langkah ini dianggap tidak sejalan dengan semangat dari transformasi energi karena pemerintah tidak mendorong untuk produksi yang tinggi dari PLTS dan mendistribusikannya ke masyarakat lain.

Sayangnya, listrik yang berlebih dari produksi dengan PLTS hanya dapat dijual ke PLN sebagai Lembaga monopoli. Regulasi ini dikhawatirkan akan menurunkan semangat dari masyarakat untuk berkontribusi dalam produksi EBT di Indonesia. Setyawati (2020) melaporkan bahwa hampir 71% dari 987 Pelanggan PLN memiliki keinginan untuk memasang PLTS di rumah nya namun, mayoritas masih menunggu perubahan regulasi yang lebih baik dari pemerintah. Alasan utamanya adalah regulasi terkait ekspor kelebihan energi listrik yang tidak dapat dijual ke orang lain dan hanya dijual ke PLN dengan nilai kompensasi sebesar 65%. (Setyawati, 2020).

Energi terbarukan telah menunjukkan perkembangan yang menjanjikan di Indonesia di mana trennya bergerak ke produksi listrik yang lebih tinggi setiap tahunnya. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ditujukan sebagai inti utama pembangkitan listrik berdasarkan RUEN tahun 2025. Namun demikian, regulasi yang lebih baik dan protokol yang jelas harus dibuat untuk merangsang keinginan konsumen untuk berpartisipasi dalam transformasi energi terbarukan di Indonesia. Penyesuaian ongkos ekspor listrik yang lebih baik dengan harga yang kompetitif dapat menjadi titik awal untuk menunjukkan bahwa sektor energi hijau menguntungkan bagi semua orang. (*)      

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan