Kutukan Sumber Daya Alam Sumatera Selatan

Ekonomi mineral didefinisikan sebagai suatu perekonomian sebuah negara dimana negara tersebut menghasilkan mineral tambang sekurang-kurangnya 8 persen dari PDB, dan 40 persen pendapatan berasal ekspor dari sektor mineral.

Pada tingkat pembangunan yang sama, perekonomian mineral menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang relatif lebih rendah dari pada perekomian non mineral.

Kinerja ekonomi mineral yang rendah terletak pada fungsi produksi sektor pertambangan, hubungan domestik dan penyebaran rente mineral.

Produksi mineral sangat padat modal, dan memperkerjakan sebagaian kecil dari total tenaga kerja, serta menggunakan modal asing yang besar untuk investasi (Auty, 1993).

Namun negara yang kaya dengan mineral terindikasi mengalami gejala Penyakit Belanda (Dutch Disease).

Indikatornya Menurut Bank Dunia, Pertama, ekspor masih sangat terkonsentrasi padat komoditas.

Kedua, tingkat kecanggihan manufaktur Indonesia paling rendah di antara negara di Asia Timur.

Ketiga, sumbangan Indonesia dalam ekspor global pun stagnan, bahkan lebih rendah dari sesama negara Asia Timur (https ://katadata.co.id).

Istilah penyakit Belanda pertama kali muncul di majalah The Economist tahun 1977, yang menganalisis situasi ekonomi Belanda tahun 1959 setelah menemukan ladang gas alam yang besar.

Saat itu, perekonomian Belanda meningkatkan pendapatannya dari ekspor gas alam.

Hal ini mengakibatkan apresiasi mata uang yang signifikan karena masuknya modal secara besar-besaran ke sektor ini. Namun karena fokus pada gas bumi, sektor lain kurang berkembang.

Pada akhirnya, tingkat pengangguran lebih tinggi di negara ini, dan industri manufaktur menurun (https ://cerdasco.com/dutch-disease/).

Selanjutnya, penyakit Belanda tersebut, memunculkan fenomena ekonomi yang serius berupa kutukan sumber daya alam (resource curse).

Kutukan sumberdaya alam ini terjadi ketika negara- negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah yang seharusnya memiliki pertumbuhan yang cepat, serta memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, dan tingkat kesejahteraan yang tinggi,

namun kenyataannya cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan kesejahteraan yang rendah (Sholikin, 2020).

Perekonomian Mineral Sumsel

Terdapat 8 Kabupaten mineral dengan kontribusi sektor pertambangan diatas 8 persen dari PDRB. di Sumsel.

Rata-rata kontribusinya tahun 2011 – 2021 berturut-turut adalah Kabupaten Muba sebesar 61,82 persen, Muara Enim (56,98%), PALI (45,86%), Lahat (37,35%), Musi Rawas (31,95%), Musi Rawas Utara (23,10%), OKU (15,65%), dan terakhir Kota Prabumulih (11,18%).

Eksploitasi batubara di Sumatera Selatan relatif menunjukkan kecenderungan tidak lestari yang melihat kekayaan sumberdaya alam tersebut sebagai flow dan bukannya melihat sebagai stock.

Batubara dianggap sebagai komoditas yang dihasilkan dari stock dan merupakan indikasi penggunaan saat ini. Indikasi yang menunjukkan laju deplesi yang besar adalah peningkatan produksi dari rata-rata 10 juta ton per tahun sebelum era IUP meningkat 5 kali lipat menjadi 50 juta ton hanya dalam waktu lima tahun yang sebagian besar diekspor.

Eksploitasi batubara terutama dengan sistem tambang terbuka merubah secara mendasar kondisi ekosistem.

Salah satu eksternalitas negatif yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat adalah pemakaian jalan umum untuk transportasi batubara. Pertumbuhan ekonomi Sumsel berhubungan positif dengan pertumbuhan manufaktur dan berpengaruh signifikan

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Sumsel jika hanya dibandingkan dengan pertumbuhan manufaktur, maka menunjukkan bahwa sektor manufaktur dapat menjadi mesin pertumbuhan.

Penyesuaian dilakukan karena dalam realita perekonomian Sumsel masih berbasis SDA sektor pertanian dan pertambangan.

Oleh karena itu peranan pertanian dan pertambangan digabungkan. Sehingga 4 Kabupaten penghasil mineral utama. yakni :

Musi Banyuasin, Muara Enim, Lahat dan Musi Rawas, maka pertumbuhan pertambangan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi dengan pengaruh yang signifikan.

Sementara pertumbuhan sektor pertanian justru berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten mineral dimana pertumbuhan ekonomi menurun sebesar 0,28 persen bila terjadi kenaikan 1 persen pertumbuhan pertanian. Pengaruh kegiatan pertanian juga tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah mineral, Kondisi ini menunjukkan adanya realokasi input pertanian (tanah, modal dan tenaga kerja) ke pertambangan dan sektor lain yang terkait dan mengakibatkan tertekannya pertumbuhan pertanian

Pertumbuhan sektor industri juga berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi di daerah tambang dimana pertumbuhan ekonomi daerah penghasil mineral menurun sebesar 0,07 persen bila terjadi kenaikan 1 persen pertumbuhan industri. Pengaruh kegiatan industri juga tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah mineral. Kondisi ini menunjukkan realokasi input (tenaga kerja, modaldan Skill) ke sektor sumber daya alam dan sektor lain yang terkait dan mengakibatkan tertekannya pertumbuhan industri pengolahan lokal.

Kutukan Sumber Daya

Fenomena kutukan sumberdaya alam menunjukkan adanya hubungan negatif antara kelimpahan sumberdaya dengan pertumbuhan ekonomi. Secara empiris sintesis tersebut diperkuat oleh Jeffrey Sach dana Andrew Wagner ekonom Harvard yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara kelimpangan sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi, dimana negara-negara OPEC -1,3 persen dan Non-OPEC +2,2 persen (Fauzi, 2004).

Kesesuaian teoritis dari hipotesis kutukan sumberdaya alam di Sumatera Selatan tampak dari peran kelimpangan sumberdaya alam tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien dari peranan kelimpahan sumberdaya mineral terhadap pertumbuhan sangat rendah yaitu sebesar 0,014 persen dan tidak nyata dalam taraf alpha 5 persen. Nilai konstanta pertumbuhan otonom ekonomi Sumatera Selatan sebesar 3,89 persen apabila menisbikan peran pertambangan.

Pertumbuhan ekonomi otonom di wilayah kaya sumberdaya alam memiliki konstanta negatif yaitu Kabupaten OKU sebesar -0,42 persen, Kabupaten Lahat sebesar -0,31 persen, Kabupaten Musi Rawas -0,17 persen, Musi Banyuasin sebesar -0,83 persen, PALI sebesar - 0,15 persen dan Kabupaten Musi Rawas Utara sebesar -0,46 persen. Hal demikian berarti jika sektor pertambangan mineral dinisbikan maka pertumbuhan ekonomi akan menurun. Hubungan negatif ini menunjukkan bahwa apabila sektor pertambangan ini terus di eksploitasi maka dalam jangka panjang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Kutukan Sumberdaya Alam mineral pertambangan di Provinsi Sumatera Selatan dapat ditunjukkan dari perbandingan  indikator Pertumbuhan ekonomi, IPM dan Kemiskinan antara Perekonoian Mineral dan Non Mineral di Sumatera Selatan tahun 2011-2021. Indikasi teoritis kutukan sumberdaya alam tampak pada perbandingan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di 8 kabupaten mineral dan 9 kabupaten non mineral di Sumsel. Wilayah delapan kabupaten/kota mineral menunjukkan tingkat pertumbuhaan ekonomi rata-rata yang lebih rendah yakni sebesar rata-rata 4,39 persen, sedangkan pertumbuhan/ ekonomi wilayah non mineral adalah lebih tinggi yaitu rata-rata sebesar 4,83 persen.

Pertumbuhan ekonomi inklusif yang ditunjukkan dari pencapaian kualitas sumberdaya manusia atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah non mineral lebih rendah yaitu sebesar 65,92. Sedangkan di 9 wilayah non mineral lebih tinggi yaitu sebesar 67,64. Angka kemiskinan rerata di 8 wilayah mineral juga lebih tinggi dibandingkan di 9 wilayah non mineral yaitu 14,98 persen dibandingkan 12,02 persen. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan